Menguji Stabilitas Pascaperang Gaza: Peran Negara Penjamin dan Harapan Perdamaian yang Rentan

Jakarta – Hari Senin tanggal 13 Oktober 2025 menjadi momentum bersejarah bagi rakyat Palestina. Setelah dua tahun perang yang menelan ribuan korban jiwa dan menghancurkan hampir seluruh infrastruktur vital di Jalur Gaza, kawasan tersebut kini memasuki hari keempat masa gencatan senjata antara Hamas dan Israel, sebuah fase awal yang diharapkan dapat membuka jalan menuju berakhirnya konflik bersenjata dan dimulainya proses pemulihan yang menyeluruh.

Gencatan senjata ini merupakan hasil diplomasi maraton yang difasilitasi oleh Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar sebagai para guarantor atau penjamin utama. Ketiga negara tersebut berperan penting dalam menjembatani komunikasi antara pihak yang bertikai, di tengah ketegangan dan ketidakpercayaan yang masih tinggi. Sejumlah pejabat senior dari kawasan Timur Tengah turut hadir dalam proses negosiasi, menandai komitmen kolektif untuk menegakkan stabilitas di wilayah yang selama bertahun-tahun menjadi episentrum konflik.

Sebagai bagian dari implementasi awal kesepakatan yang mulai berlaku sejak 10 Oktober 2025, Hamas telah menyerahkan tujuh tawanan Israel kepada Palang Merah Internasional (ICRC) di Gaza. Militer Israel kemudian mengonfirmasi penerimaan tersebut, menyebut bahwa proses pemulangan dilakukan secara tertib dan dalam pengawasan ketat dari lembaga internasional. Tidak lama berselang, Brigade Qassam, sayap militer Hamas, juga mengumumkan pembebasan tambahan 20 tawanan Israel, sementara pihak Israel berjanji akan membebaskan 250 tahanan Palestina setelah seluruh sandera berhasil dikembalikan dengan selamat.

Langkah ini menjadi tonggak pelaksanaan konkret dari fase pertama gencatan senjata. Namun demikian, stabilitas di lapangan masih rapuh. Kekosongan otoritas keamanan pascaperang menciptakan ruang bagi munculnya berbagai kelompok bersenjata kecil yang tidak berada di bawah kendali struktur resmi mana pun. Dalam beberapa hari terakhir, sejumlah bentrokan sporadis dilaporkan terjadi di berbagai wilayah Gaza, terutama di bagian utara dan tengah, menandakan bahwa tantangan keamanan masih jauh dari kata selesai.

Di tengah suasana transisi yang penuh ketidakpastian, dunia internasional kembali berduka atas kabar tragis meninggalnya jurnalis Gaza, Saleh Al Jafarawi, yang dilaporkan diculik dan dibunuh oleh kelompok bersenjata di luar otoritas hukum. Kejadian ini mengguncang komunitas media dan memperlihatkan betapa rapuhnya perlindungan terhadap warga sipil, terutama bagi para jurnalis dan aktivis kemanusiaan yang bekerja di garis depan untuk menyampaikan kebenaran.

“Hari ini kita bersedih, ada seorang jurnalis dari Gaza yang diculik lalu dibunuh. Tanpa adanya perlindungan terhadap insan media dan pers, perdamaian tidak akan punya arti,” Baihaqi, Kabid Hubungan Luar Negeri PP KAMMI.

Menurut Baihaqi, keberlanjutan gencatan senjata hanya akan bermakna bila disertai komitmen nyata dari komunitas internasional untuk menegakkan keadilan dan memastikan pemenuhan hak-hak dasar rakyat Palestina. Tanpa upaya bersama dalam menghentikan pendudukan dan membuka akses kemerdekaan sejati, setiap kesepakatan perdamaian akan tetap rapuh dan mudah runtuh.

“Kita menginginkan keadilan bagi rakyat Palestina dan hak kemerdekaan yang sesungguhnya. Perdamaian sejati tidak bisa dibangun di atas ketidakadilan,” imbuhnya.

Kini, dunia menanti pelaksanaan KTT Perdamaian Gaza di Sharm El-Sheikh, yang akan dipimpin langsung oleh Presiden AS Donald Trump dan Presiden Mesir Abdulfattah Al-Sisi. Pertemuan ini diharapkan mampu memperkuat mekanisme pengawasan terhadap gencatan senjata, membangun kepercayaan antar pihak, serta menyusun kerangka rekonstruksi jangka panjang bagi Gaza, wilayah yang kini porak-poranda dan sangat membutuhkan pemulihan ekonomi, sosial, dan kemanusiaan.

Namun satu hal yang pasti, perdamaian di Gaza masih rapuh. Tanpa dukungan internasional yang konsisten dan keberanian politik dari para pemimpin kawasan untuk menempatkan kemanusiaan di atas kepentingan strategis, harapan untuk melihat Gaza yang damai dan merdeka bisa kembali sirna di tengah siklus kekerasan yang terus berulang.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *