Setiap tahun pada Hari Guru Nasional, kita mendengar banyak ucapan terima kasih dan nostalgia masa sekolah. Namun di balik selebrasi itu, ada kenyataan pahit yang jarang mau kita hadapi: guru Indonesia sedang menjalani tekanan paling kompleks dalam sejarah pendidikan modern kita.
Permasalahan guru bukan sekadar masalah profesi. Ia adalah krisis sistemik yang memengaruhi masa depan bangsa.
Jika Jepang dan Finlandia memuliakan guru sebagai fondasi negara, kita justru membuat guru berjuang melawan birokrasi, pungli, dan ketidakpastian kesejahteraan.
- PPPK: Ketidakpastian dalam Sistem yang Seharusnya Melindungi
Rekrutmen PPPK mestinya menjadi bentuk keadilan.
Namun bagi banyak guru honorer, itu menjadi lorong ketidakpastian yang panjang. Guru mengabdi puluhan tahun tetap harus menjalani tes berlapis. Kuota tidak merata. Formasi tidak sinkron dengan kebutuhan sekolah. Kebijakan sering berubah di tengah jalan.
Munculnya oknum dan calo yang meminta sejumlah uang dengan janji kelulusan. Sistem resmi memang gratis, tetapi budaya “kalau mau aman harus bayar” mekar di ruang yang tidak diawasi.
- Gaji Rendah: Ketika Pengabdian Tidak Sejalan dengan Keadilan Ekonomi
Masih banyak guru honorer yang menerima gaji Rp300–700 ribu per bulan. Mengajar sambil mencari pekerjaan lain. Menjalani tuntutan profesional setingkat guru negara maju, tetapi dengan pendapatan yang jauh dari layak.
Di titik inilah Teori Human Capital Gary Becker menjadi relevan. Teori ini menegaskan: kemajuan suatu negara bergantung pada kualitas investasi terhadap pendidikannya. Jika kualitas guru rendah karena negara tidak memberi kesejahteraan, maka kemampuan bangsa berkompetisi secara global ikut runtuh.
Negara maju memperkuat investasinya pada guru, Indonesia justru membiarkan sumber daya terpentingnya melemah.
- Pungli Sertifikasi: Luka Sistemik yang Menggerogoti Martabat
Tunjangan sertifikasi adalah hak.
Namun di lapangan, banyak guru menderita karena, Potongan “seminar wajib”, Kegiatan berbiaya tinggi yang tidak relevan, Pungli dari Gaji Sertifikasi Guru berkedok Pelatihan Peningkatan Kapasitas, ancaman terselubung bahwa sertifikasi bisa bermasalah jika tidak ikut.
Nominal pungutan bisa mencapai jutaan rupiah. Seminar menjadi industri, bukan peningkatan kompetensi.
Dalam perspektif Teori Reproduksi Sosial Bourdieu, praktik seperti ini menciptakan ketidakadilan yang terus diwariskan.
Ketika guru dirugikan secara ekonomi, mereka kehilangan energi dan sumber daya untuk meningkatkan kualitas pengajaran.
Hasilnya?
Ketidakadilan pendidikan akan lahir kembali pada murid—generasi demi generasi. Ketika guru terjebak dalam sistem yang eksploitatif, murid ikut menjadi korban.
- Beban Administrasi: Guru Menjadi Operator Data
Alih-alih fokus mengajar, guru harus mengisi laporan harian, mingguan, bulanan. Menghadapi aplikasi berlapis. Menjalankan tugas administratif yang tidak ada habisnya. Waktu terbaik guru untuk mempersiapkan pembelajaran digerogoti oleh kewajiban administratif yang menumpuk.
- Kebijakan Berubah-ubah: Guru Jadi Korban Percobaan Sistem
Kurikulum berganti, sistem penilaian berubah, perangkat administrasi diperbarui.
Tetapi pelatihan minim, fasilitas tidak merata. Guru tidak diberdayakan—melainkan dibebani perubahan tanpa dukungan.
- Jepang: Negara yang Bangkit dengan Menjaga Gurunya
Setelah bom atom, Jepang melakukan langkah paling strategis: melindungi dan mengumpulkan guru.
Mereka tahu jika guru berdiri, bangsa berdiri. Jika guru hancur, bangsa ikut runtuh. Guru diberi kehormatan, kemampuan, dan perlindungan sosial.
Dan Jepang bangkit dalam hitungan dekade.
- Finlandia: Contoh Modern Negara yang Menjadikan Guru Sebagai Profesi Terhormat
Finlandia memilih jalan yang berbeda:
menjadikan guru sebagai profesi dengan prestise tertinggi. Hanya 10% pelamar terbaik yang bisa jadi guru. Pendidikan guru gratis dan setara S2, Gaji kompetitif, tidak ada pungli, seminar wajib, atau birokrasi mengekang, guru diberi kebebasan profesional yang luas.
Hasilnya Finlandia konsisten menjadi salah satu negara dengan kualitas pendidikan terbaik di dunia.
Penutup: Guru Tidak Butuh Pujian—Mereka Butuh Sistem yang Adil
Selama pungli sertifikasi dibiarkan, gaji rendah dianggap normal, PPPK tidak pasti, beban admin menggunung, dan martabat guru terabaikan, maka masa depan pendidikan Indonesia akan terus berjalan pincang.
Bangsa yang besar bukan yang pandai membuat slogan, tetapi yang berani memperbaiki sistem agar guru hidup terhormat, sejahtera, dan dihargai sebagai fondasi peradaban.
Selamat Hari Guru.
Semoga suatu hari nanti, Indonesia benar-benar memuliakan guru bukan hanya dalam ucapan, tetapi dalam kebijakan.
penulis: by PP KAMMI




