Oleh : Muhammad Amri Akbar,M.E (Ketua Umum PP KAMMI)
Kasus Ira Puspadewi bukan sekadar perkara hukum yang menimpa seorang individu, melainkan telah menjadi sebuah preseden yang mempertaruhkan masa depan tata kelola, inovasi, dan keberanian korporasi seluruh BUMN di Indonesia. Secara kronologis, kasus ini bermula dari kebijakan PT ASDP di bawah kepemimpinan Ira Puspadewi untuk mengakuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) pada periode 2019–2022. Langkah korporasi ini kemudian diperkarakan, dengan penyelidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dimulai sejak Juli 2024. Puncaknya, pada Kamis, 20 November 2025, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara kepada Ira Puspadewi. Majelis hakim menilai Ira terbukti secara sah melanggar Pasal 3 JO Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dasar putusannya adalah bahwa tindakan akuisisi tersebut telah memperkaya korporasi lain, yaitu pemilik PT JN, senilai Rp 1,25 triliun. Namun, sebuah fakta krusial dalam putusan tersebut adalah pengakuan majelis hakim bahwa Ira Puspadewi dinilai tidak menerima keuntungan pribadi dari transaksi tersebut, sehingga ia tidak dikenakan pidana uang pengganti.
Signifikansi terbesar dari putusan ini terletak pada adanya dissenting opinion yang diajukan oleh Ketua Majelis Hakim, Sunoto, yang berbeda secara diametral dengan dua hakim anggota lainnya dan menjadi landasan argumentasi bahwa perkara ini seharusnya berada di luar ranah pidana. Dalam pandangannya, tindakan para terdakwa merupakan keputusan bisnis murni (business decision) yang dilindungi prinsip Business Judgement Rule, sehingga meskipun perbuatannya terbukti dilakukan, perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Hakim Sunoto menilai para terdakwa telah bertindak dengan itikad baik (good faith), menerapkan prinsip kehati-hatian, serta tidak memiliki konflik kepentingan maupun relasi personal dengan pemilik PT JN. Ia juga memperingatkan bahwa kriminalisasi keputusan bisnis akan menjadi preseden buruk yang menimbulkan ketakutan bagi jajaran direksi BUMN, menghambat pengambilan keputusan strategis, dan membuat para profesional terbaik berpikir berkali-kali sebelum menerima posisi pimpinan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, ia merekomendasikan agar para terdakwa divonis lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging).
Langkah DPR RI dalam menampung dan mengolah aspirasi publik terkait dugaan ketidakadilan dalam kasus Ira Puspadewi adalah suatu momentum penting bagi wajah demokrasi Indonesia. Ketika Prof. Sufmi Dasco Ahmad menegaskan bahwa rehabilitasi merupakan respons atas suara publik yang secara masif masuk ke parlemen, titik krusial dari pernyataannya bukan hanya pada substansi rehabilitasi itu sendiri, melainkan pada pengakuan bahwa rakyat masih memiliki ruang untuk didengar dalam arsitektur kekuasaan negara. Inisiatif Prof. Dasco mendorong Komisi Hukum melakukan kajian internal yang kemudian kajian legislatif tersebut diteruskan kepada pemerintah dan direspons oleh Kementerian Hukum melalui rekomendasi resmi kepada Presiden, kita menyaksikan bagaimana mekanisme konstitusional bekerja. Hingga akhirnya Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk memberikan rehabilitasi kepada Ira Puspadewi dan dua direksi PT ASDP Indonesia Ferry lainnya menjadi momentum penting dalam penegakan keadilan hukum di Indonesia. Keputusan tersebut, yang diumumkan secara resmi oleh Wakil Ketua DPR RI Prof. Sufmi Dasco Ahmad, mencerminkan mekanisme checks and balances yang berjalan efektif antara unsur legislatif dan eksekutif. Namun peran Prof. Sufmi Dasco Ahmad tidak sekadar membaca keputusan presiden; lebih jauh daripada itu, ia bertindak sebagai penghubung strategis yang menjembatani aspirasi masyarakat, proses kajian legislatif, serta tindak lanjut eksekutif di tingkat pemerintahan pusat.
Ekosistem Hukum dan Tata Kelola BUMN
Kasus Ira Puspadewi menjadi relevan secara nasional karena ia memaksa para pemangku kepentingan pemerintah, parlemen, aparat penegak hukum, hingga komunitas bisnis untuk kembali mengevaluasi batas tegas antara keputusan bisnis yang sah meski merugi dengan tindakan melawan hukum yang merugikan keuangan negara. Ambiguitas dalam area ini telah menimbulkan dampak “ikutan” yang serius bagi ekosistem BUMN.
Untuk memperoleh gambaran yang seimbang, penting memahami pandangan penegak hukum. KPK bersikukuh bahwa kasus ini memenuhi unsur tindak pidana korupsi. Fokus utamanya bukan pada hasil bisnis yang merugi atau menguntungkan, tetapi pada aspek proses yang diduga mengandung perbuatan melawan hukum. Tuduhan tersebut mencakup dugaan rekayasa dalam akuisisi, penilaian risiko kapal tua yang dianggap bermasalah, kondisi keuangan PT JN yang buruk namun tetap diakuisisi dengan nilai tinggi, serta proses due diligence yang dinilai tidak sesuai standar. Perspektif ini menunjukkan bahwa bagi penegak hukum, kepatuhan prosedural dan ketiadaan unsur melawan hukum dalam proses pengambilan keputusan adalah tolok ukur utama, terlepas dari niat baik maupun hasil akhir sebuah keputusan bisnis.
Ancaman kriminalisasi keputusan bisnis telah melahirkan budaya risk aversion budaya “cari aman” dalam jajaran kepemimpinan BUMN. Ketika setiap keputusan yang tidak menghasilkan keuntungan optimal berpotensi berujung pada penyelidikan pidana, direksi cenderung menghindari keputusan strategis yang inovatif dan berisiko. Fenomena ini tidak hanya menurunkan daya saing BUMN, tetapi juga mengkhianati mandat mereka sebagai agen pembangunan yang bekerja pada sektor-sektor yang tidak ingin disentuh swasta. Negara pada akhirnya menjadi pihak yang paling dirugikan karena stagnasi, keterlambatan inovasi, dan kegagalan BUMN menjalankan fungsi strategisnya dalam perekonomian nasional.
Menggesa Ekosistem Hukum yang Mendukung Profesionalisme BUMN
Doktrin Business Judgement Rule (BJR) merupakan prinsip fundamental yang memberikan perlindungan kepada direksi dari tuntutan hukum baik perdata maupun pidana atas kerugian yang timbul akibat keputusan bisnis. Hakim Sunoto secara tegas mengingatkan bahwa bahkan keputusan bisnis yang tidak optimal tetap harus dilindungi oleh BJR selama memenuhi tiga syarat utama: diambil dengan itikad baik, berdasarkan informasi yang memadai dan tujuan rasional, serta tanpa konflik kepentingan. Doktrin ini penting untuk menjaga ruang diskresi manajemen agar perusahaan dapat bergerak lincah, progresif, dan kompetitif. Tanpa BJR yang kuat, setiap kerugian akan dinilai dengan kacamata hasil akhir (hindsight bias), sehingga para profesional enggan mengambil keputusan strategis. Oleh karena itu, memperjelas posisi BJR dalam ekosistem hukum Indonesia merupakan kebutuhan mendesak.
Minimal ada dua ada langkah strategis yang harus segera ditempuh negara yaitu pertama adalah penguatan doktrin bjr dalam peraturan perundang-undangan. Prioritas legislatif adalah mengkodifikasi prinsip BJR secara eksplisit ke dalam regulasi, baik melalui revisi UU BUMN maupun UU PT. Standar hukum yang tegas akan menghilangkan area abu-abu dalam penafsiran, memastikan keputusan bisnis yang diambil dengan itikad baik tidak mudah dikriminalisasi.
Dan kedua adalah revitalisasi pengawasan internal dan tata kelola perusahaan (gcg). BP BUMN perlu memperkuat implementasi GCG secara substantif dan terdokumentasi. Pengawasan internal yang kuat bukan hanya mencegah penyimpangan, tetapi juga menjadi legal safeguard ketika proses bisnis diuji secara hukum, selaras dengan fokus penegak hukum terhadap kepatuhan prosedural. Jika dilaksanakan secara sinergis, reformasi ini akan memperkuat fondasi hukum bagi para profesional BUMN untuk bekerja secara berintegritas dan progresif.
Rehabilitasi terhadap Ira Puspadewi bukan sekadar penyelesaian satu perkara, tetapi momentum penting untuk mempertegas garis demarkasi antara risiko bisnis dan tindak pidana korupsi. Indonesia membutuhkan kerangka hukum yang secara simultan melindungi profesional berintegritas dalam mengambil keputusan yang berisiko, sekaligus menjaga ketegasan pemberantasan korupsi yang sesungguhnya yang berorientasi pada niat jahat dan penyalahgunaan wewenang, bukan pada kegagalan bisnis beritikad baik.
Keseimbangan antara akuntabilitas hukum dan keberanian korporasi adalah syarat mutlak untuk memastikan BUMN tidak hanya selamat, tetapi unggul dan menjadi motor utama perekonomian nasional. Memperkuat Business Judgement Rule hari ini adalah investasi strategis bagi masa depan BUMN dan masa depan Indonesia yang lebih kompetitif dan maju.





