Polemik Bantuan UMKM Lombok Timur: Antara Ketidakjelasan Data dan Kecurigaan Publik

Oleh: Muttakilah Ahmad (Pemuda Aikmel)

Beberapa hari terakhir, lini masa Facebook saya dipenuhi perbincangan tentang penyaluran bantuan UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) di Lombok Timur. Gelombang kritik datang dari berbagai arah seperti pemerhati sosial, aktivis, hingga masyarakat umum, dan menilai bahwa bantuan tersebut tidak tepat sasaran.

Dugaan ini muncul terutama karena pendataan yang dianggap tidak transparan, tidak adanya informasi jelas mengenai timeline pengajuan calon penerima, hingga dugaan bahwa daftar penerima “muncul tiba-tiba” tanpa proses yang dapat dipertanggungjawabkan.

Kritik publik semakin memanas ketika banyak netizen Lombok Timur menilai bahwa sebagian besar penerima bantuan justru tidak memiliki usaha UMKM. Ada yang menyebut bahwa daftar tersebut dipenuhi nama-nama dengan “usaha fiktif” dan bahkan dicurigai sarat kepentingan politik balas jasa pasca pilkada.

Pertanyaan besar pun muncul: apakah benar bantuan ini tidak tepat sasaran?

Bantahan Bupati dan Masalah yang Tak Selesai

Di tengah tingginya kritik, Bupati Lombok Timur, H. Haerul Warisin (Haji Iron), memberikan klarifikasi. Ia membantah adanya intervensi politik dalam penentuan nama penerima bantuan. Menurutnya, ia mengalokasikan anggaran tersebut murni untuk membantu pelaku UMKM, bukan orang yang tidak memiliki usaha.

“Saya kucurkan anggaran dengan hajat membantu para UMKM, bukan yang tidak punya usaha. Saya tidak tahu mana tim saya dan yang tidak,” tegasnya.

Namun, pernyataan tersebut tidak serta merta meredam kritik publik. Masalah utama yang dikeluhkan masyarakat bukan hanya soal siapa yang mengusulkan nama, tetapi tentang minimnya mekanisme verifikasi, lemahnya koordinasi antar instansi, dan tidak adanya kanal informasi yang jelas bagi masyarakat. Bahkan, saling lempar tanggung jawab antara Diskop dan Pemerintah Desa memperburuk keadaan, sehingga publik merasa prosesnya semakin tidak transparan.

Karena itu, langkah konkret tetap dibutuhkan. Minimal ada dua hal penting:

Menunda pencairan bantuan sampai seluruh nama penerima diverifikasi benar-benar memiliki usaha.

Melibatkan pemerintah desa secara formal dalam pengusulan dan verifikasi, sehingga masyarakat tahu harus bertanya atau melapor kepada siapa jika ada kejanggalan.

Menguji Data di Lapangan: Studi Kecil di Desa Aikmel Utara

Untuk menjawab rasa penasaran pribadi, saya mencoba melakukan penelitian kecil di Desa Aikmel Utara, sebuah contoh sederhana untuk melihat apakah isu “tidak tepat sasaran” benar terjadi.

Saya mengumpulkan data UMKM di desa saya dan menemukan:

Jumlah pelaku UMKM terdata: 73 usaha (terdiri dari kios dan usaha produksi)

Jumlah penerima bantuan di desa: 43 nama (beberapa bahkan tercatat ganda)

Ketika kedua data ini saya cocokkan, hasilnya cukup mengejutkan:

Hanya 16 dari 43 penerima yang benar-benar tercatat sebagai pelaku UMKM.

Artinya, kurang dari 25% penerima bantuan sesuai dengan data UMKM yang ada.

Sisanya, 27 nama lainnya tidak tercatat sebagai pelaku UMKM dan di sinilah pertanyaan besar bermula.

Lantas, berdasarkan apa mereka diusulkan?
Biarlah jawaban ini menjadi refleksi dan asumsi masing-masing.

Mencari Jalan Perbaikan Bersama

Tulisan ini bukan dibuat karena rasa iri atau tendensi politik tertentu. Justru sebaliknya, ini berangkat dari kegelisahan dan rasa ingin tahu terhadap proses kebijakan publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Jika ada kekeliruan dalam pendataan atau proses pengusulan, seharusnya kita memperbaikinya bersama. Kritik masyarakat bukanlah ancaman bagi pemerintah, melainkan energi pengawasan yang diperlukan agar program benar-benar sampai kepada mereka yang berhak.

Transparansi bukan sekadar kebutuhan administratif, melainkan fondasi kepercayaan publik. Dan dalam kasus bantuan UMKM ini, kepercayaan itulah yang kini sedang dipertaruhkan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *