Mataram — Dinamika menjelang pemilihan Rektor Universitas Mataram (UNRAM) kian memanas dan menjadi sorotan publik akademik. Sejumlah peristiwa, mulai dari dugaan pencegatan terhadap salah satu calon hingga isu adanya cawe-cawe dari pihak rektorat, memicu berbagai pertanyaan mengenai transparansi dan keadilan dalam proses pemilihan pemimpin tertinggi kampus tersebut.
Mahasiswa Magister UNRAM, Herianto, turut angkat suara menanggapi situasi yang menurutnya jauh dari ideal bagi sebuah institusi pendidikan tinggi. Ia menegaskan bahwa kampus adalah ruang yang seharusnya mencerminkan praktik demokrasi yang sehat, bersih, dan berintegritas.
“Kampus harus menjadi contoh yang baik dalam dunia demokrasi. Jika kampus saja tidak bisa menunjukkan itu, bagaimana dengan masyarakat awam di luar sana, serta bagaimana dampaknya terhadap nama baik UNRAM,” ujarnya.
Menurutnya, dugaan intervensi yang dilakukan oleh pihak tertentu dapat menodai kredibilitas proses pemilihan. Terlebih, beredarnya informasi bahwa salah satu calon yang memiliki jabatan strategis diduga memanfaatkan posisinya demi meraup dukungan semakin memperburuk persepsi publik.
“Ada beredar informasi mengenai salah satu calon yang mulai bergerak dan diduga memanfaatkan jabatan tinggi untuk menekan dosen terkait kenaikan jabatan, termasuk mempersulit pengajuan guru besar. Jika benar demikian, ini tentu menciderai nilai-nilai akademik,” jelasnya.
Herianto mengingatkan bahwa kampus bukanlah arena untuk mempraktikkan tekanan struktural, apalagi yang bersifat politis. Ia menekankan bahwa setiap dosen dan civitas akademika harus memiliki kebebasan penuh untuk menentukan pilihan berdasarkan integritas, visi, serta kompetensi calon rektor.
Lebih jauh ia menuturkan bahwa UNRAM saat ini berada dalam fase penting untuk menentukan arah masa depan, sehingga proses pemilihan rektor tidak boleh dicampuri kepentingan-kepentingan yang tidak sejalan dengan semangat pembangunan institusi.
“Kampus harus menjadi ruang aman, terbuka, dan adil. Pemimpin yang terpilih harus benar-benar mampu mewujudkan visi besar UNRAM. Kita ingin pemimpin yang dipilih karena gagasan dan rekam jejak, bukan karena hasil tekanan atau intervensi,” kata Herianto menegaskan.
Ia juga menyoroti bahwa seluruh calon rektor yang maju telah memiliki gelar profesor. Menurutnya, ini menandakan bahwa kemampuan akademik bukanlah persoalan; yang lebih penting adalah bagaimana setiap calon mampu menerjemahkan visi UNRAM ke dalam program yang konkret dan realistis.
“Semua calon sudah bergelar profesor, artinya mereka telah memenuhi syarat akademik tertinggi. Yang perlu kita lihat adalah siapa yang benar-benar punya program strategis yang mampu membawa UNRAM menjadi universitas yang maju dan berdaya saing,” tambahnya.
Dalam pandangannya, visi besar UNRAM harus diwujudkan dalam bentuk nyata dan dirasakan oleh seluruh unsur kampus, bukan sekadar menjadi lirik indah dalam Himne UNRAM.
“UNRAM harus jaya bukan hanya di dalam lagu Himne, tapi juga dalam fakta yang dirasakan oleh mahasiswa, alumni, dan para dosen. Kita ingin ada perubahan yang nyata,” ucapnya.
Herianto kemudian menegaskan bahwa pemilihan rektor harus dilaksanakan tanpa intervensi, tanpa keberpihakan, dan tanpa upaya menekan pihak tertentu.
“Semua calon harus bertarung bebas. Siapa yang paling mampu mewujudkan visi besar UNRAM, dialah yang layak memimpin. Bukan karena cawe-cawe, bukan karena tekanan, dan bukan karena kekuasaan posisi tertentu,” tutupnya.
Dengan semakin meningkatnya perhatian publik terhadap proses pemilihan rektor, Herianto berharap agar pihak rektorat dan panitia pemilihan bersikap netral, menjaga martabat kampus, dan memastikan bahwa demokrasi benar-benar hidup di lingkungan Universitas Mataram.





