Jakarta – Pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PP KAMMI) menilai bahwa terpilihnya Indonesia sebagai penerima “penghargaan sindiran” Fossil of the Day dalam Konferensi Perubahan Iklim COP30 di Brasil merupakan tamparan keras bagi diplomasi iklim nasional. Penghargaan yang diberikan oleh Climate Action Network (CAN) tersebut bukan sekadar humor internasional, melainkan simbol bahwa dunia memandang Indonesia sebagai negara yang menghambat upaya global dalam mengatasi krisis iklim.
Sekretaris Jenderal PP KAMMI, Syafrul Ardi, menyayangkan kondisi tersebut. Menurutnya, bagi bangsa sebesar Indonesia yang dikenal sebagai paru-paru dunia dan pemilik biodiversitas tropis penilaian itu merupakan “aib diplomatik” yang tidak boleh diabaikan.
Delegasi Indonesia Gagal Membaca Arah Zaman
PP KAMMI menyoroti bahwa ketika dunia sedang bergerak cepat menuju phase-out batu bara, memperkuat ambisi iklim, dan mempercepat transisi energi, delegasi Indonesia justru tampil dengan narasi yang dianggap selaras dengan kepentingan industri fosil. Alih-alih menegaskan komitmen terhadap energi terbarukan dan keadilan iklim, posisi Indonesia di COP30 dinilai terlalu kompromistis terhadap industri batu bara dan energi fosil, dua sektor yang sudah lama menjadi penyumbang terbesar emisi nasional.
Syafrul Ardi menilai hal ini merupakan bukti bahwa pemerintah belum mampu melepaskan diri dari ketergantungan politik pada oligarki energi fosil.
“Pemerintah masih tergantung pada oligarki energi fosil,” tegas Syafrul.
Perpres 110/2025: Regulasi Ada, Komitmen Tidak Ada
Meski pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden 110/2025 tentang percepatan transisi energi dan nilai ekonomi karbon, Syafrul menilai regulasi tersebut belum disertai komitmen politik yang kuat.
“Tidak cukup modal regulasi kalau komitmennya lemah,” ujarnya.
KAMMI menilai Perpres tersebut tidak memuat elemen krusial seperti:
• landasan hukum yang kuat,
• timeline penghentian PLTU yang jelas,
• peta jalan transisi energi yang ambisius dan terukur,
• mekanisme pengawasan perdagangan karbon yang transparan,
• serta jaminan just transition bagi pekerja, masyarakat lokal, dan daerah penghasil energi.
Krisis Iklim Bukan Ruang Kompromi
PP KAMMI menegaskan bahwa forum internasional seperti COP adalah ruang untuk menentukan masa depan bumi dan nasib generasi muda, bukan tempat untuk mempertahankan kepentingan bisnis energi fosil.
“Jika delegasi Indonesia hadir hanya untuk mengulang narasi pelobi industri, maka pemerintah secara sadar telah merusak citra Indonesia di politik global,” tambah Syafrul.
Sebagai langkah perbaikan fundamental, PP KAMMI mengajukan beberapa tuntutan tegas:
- Reformasi total terhadap diplomasi iklim Indonesia.
- Revisi mendalam terhadap Perpres 110/2025.
- Menghapus pengaruh oligarki energi fosil
- Menjadikan transisi energi sebagai agenda nasional.
Generasi Muda Berhak atas Masa Depan yang Bersih dan Adil
KAMMI menegaskan bahwa generasi muda Indonesia adalah kelompok yang paling terdampak oleh kegagalan kebijakan energi dan iklim hari ini.
“Jika pemerintah terus mempertahankan kebijakan setengah hati, Indonesia berjalan menuju krisis yang mengancam masa depan ekonomi, kedaulatan pangan, kesehatan publik, serta stabilitas sosial,” ujar Syafrul.
Menurutnya, COP30 adalah alarm keras yang menunjukkan bahwa Indonesia harus segera berbenah dan memperbaiki strategi diplomasi iklimnya. Indonesia seharusnya tampil sebagai negara pelopor keadilan iklim, bukan sebagai negara yang menjadi bahan tertawaan dunia.
“Dengan potensi besar yang dimiliki Indonesia, seharusnya kita menjadi laboratorium transisi energi, bukan negara yang tertinggal,” tutup Syafrul.





