Program MBG: Niat Baik yang Gagal Dijaga Negara

Oleh: Zikri Haryanto Jurusan KPI Fakultas DIK UIN Mataram

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dirilis pemerintah dengan narasi besar: memerangi stunting, meningkatkan gizi pelajar, serta membantu meringankan beban ekonomi keluarga. Dalam berbagai kesempatan, pemerintah bahkan mengemas program ini sebagai “investasi strategis untuk mencetak generasi emas 2045.” Secara gagasan, MBG memang ambisius dan progresif. Tetapi sebagaimana banyak kebijakan besar lain di negeri ini, keberaniannya tidak diimbangi dengan kesiapan lapangan.

Fakta berkata lain. Baru beberapa bulan berjalan, program ini justru menghasilkan gelombang kasus keracunan massal yang menyebar di banyak daerah. Data dari Badan Gizi Nasional (BGN) hingga Oktober 2025 mencatat 16.109 pelajar menjadi korban keracunan, sebagian mengalami gejala sedang hingga harus dirawat inap. Angka ini tidak hanya mengkhawatirkan, tetapi menjadi sinyal bahwa ada yang sangat keliru dalam manajemen program. Sebuah kebijakan nasional yang menyasar anak-anak sekolah tidak boleh abai terhadap keselamatan.

Pertanyaan yang lebih penting adalah mengapa negara bisa gagal di tahap paling dasar, yaitu memastikan makanan yang diberikan kepada anak-anak aman dikonsumsi?

Masalahnya Bukan Niat, Tapi Cara Kerja Negara yang Tidak Serius

Persoalan utama MBG tidak terletak pada gagasannya, namun pada implementasinya yang rapuh. Banyak dapur pelaksana (SPPG) dibentuk dalam kondisi terburu-buru. Mereka dituntut memproduksi ribuan porsi makanan setiap hari tanpa dukungan pelatihan memadai, standar operasional baku, maupun fasilitas penyimpanan yang sesuai. Dalam banyak kasus, pengelola bahkan tidak memahami prinsip dasar pengolahan makanan massal, mulai dari kontrol suhu, sanitasi alat, hingga penanganan bahan pangan.

Lebih parah lagi, rantai distribusi makanan banyak yang tidak sesuai prosedur. Makanan yang seharusnya dikonsumsi dalam dua jam sering tiba di sekolah setelah melewati perjalanan panjang dalam kondisi tidak steril. Semua celah ini adalah undangan terbuka bagi bakteri berbahaya.

Padahal pemerintah seharusnya menyadari bahwa pengolahan makanan untuk jutaan anak bukan sekadar kegiatan sosial, tetapi sebuah operasi kesehatan publik berskala nasional. Kecerobohan sekecil apa pun bisa menyebabkan tragedi massal, dan itulah yang kini terjadi.

Respons Pemerintah: Reaktif, Bukan Preventif

Yang lebih memprihatinkan lagi adalah pola respons pemerintah. Alih-alih membangun sistem pengendalian mutu sejak awal, pemerintah justru memilih pendekatan pemadam kebakaran, yaitu menutup dapur yang bermasalah setelah kasus terjadi. Ini menandakan dua hal:

  1. Pengawasan sebelumnya nyaris tidak ada atau hanya formalitas.
  2. Penilaian kelayakan dapur dilakukan tanpa uji kesiapan komprehensif.

Lebih ironis lagi, narasi yang dibangun pemerintah sering kali berupaya meremehkan kasus, menyebutnya sebagai “kejadian lokal,” “kelalaian individu,” atau “insiden yang akan diperbaiki.” Narasi semacam ini tidak menyentuh akar masalah yang bersifat sistemik.

Jika ribuan korban sudah jatuh namun pemerintah masih berusaha menutupinya dengan retorika optimistis, maka kita patut mempertanyakan prioritas sesungguhnya: kepentingan publik atau pencitraan politik?

Kerugian Jangka Panjang: Lebih dari Sekedar Korban Keracunan

Dampak dari implementasi buruk MBG tidak hanya berhenti pada angka korban hari ini. Ada konsekuensi berantai yang dapat merusak tujuan besar program:

  1. Turunnya kepercayaan publik terhadap program nasional, terutama yang menyasar anak-anak.
  2. Trauma siswa dan orang tua, yang kemudian enggan membiarkan anak mengonsumsi makanan dari program pemerintah.
  3. Delegitimasi kebijakan sosial pemerintah, yang dapat menciptakan resistensi terhadap program-program lainnya.
  4. Potensi persoalan hukum dan politik yang dapat menghambat keberlanjutan MBG ke depan.

Apa artinya program “investasi gizi besar” jika di lapangan justru menghasilkan rasa takut makan di sekolah?

Evaluasi Menyeluruh: Pemerintah Tidak Boleh Malu Mengakui Kesalahan

MBG hanya akan berhasil jika pemerintah berani melakukan perombakan besar-besaran. Bukan tambal sulam. Bukan hanya menutup dapur bermasalah. Bukan sekadar konferensi pers yang menenangkan publik. Yang diperlukan adalah:

  1. Evaluasi sistemik dari hulu ke hilir
    Mulai dari pengadaan bahan, standar dapur, pelatihan pekerja, distribusi, hingga monitoring di sekolah.
  2. Transparansi data dan hasil audit
    Pemerintah wajib membuka data kasus, temuan lapangan, serta peta risiko kepada publik. Tanpa transparansi, perbaikan hanya akan menjadi wacana.
  3. Pelatihan dan sertifikasi wajib
    SPPG harus menjalani sertifikasi higienitas dan manajemen pangan massal, bukan sekadar memenuhi syarat administratif.
  4. Mekanisme pengawasan independen
    Libatkan puskesmas, perguruan tinggi, organisasi profesi kesehatan, hingga masyarakat. Pengawasan tidak boleh hanya dilakukan oleh pihak yang memiliki kepentingan politik dalam keberhasilan program.
  5. Sanksi tegas dan pertanggungjawaban
    Jika ada unsur kelalaian atau praktik tidak profesional, maka harus ada sanksi yang melampaui teguran administratif.

Niat Baik Tidak Cukup

Program MBG adalah program baik yang lahir dari niat baik. Tetapi niat baik tidak cukup untuk menyelamatkan anak-anak dari makanan yang berbahaya. Sebuah program sebesar ini hanya dapat berjalan baik jika pemerintah disiplin pada sains, pada standar mutu, dan pada prinsip tata kelola yang profesional.

Jika negara gagal memastikan makanan aman bagi anak-anak, maka sesungguhnya negara sedang gagal menjalankan fungsi paling dasar, yaitu melindungi warga, terutama yang paling rentan.

Karena itu, evaluasi menyeluruh bukan hanya perlu, tetapi mendesak. Jika tidak, MBG bisa berakhir sebagai contoh paling nyata dari bagaimana niat mulia berubah menjadi ancaman kesehatan publik akibat tata kelola yang buruk.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *